Jumat, 31 Agustus 2012

Untuk Jiwa 99 °C

 

Ayahku bilang api akan padam dengan sendirinya, kecuali kau membuka jendela dan menyiramnya dengan bensin. Kalau di pikir-pikir kurasa itulah perlu dilakukan banyak orang. Meninggalkan jiwa yang panas untuk memaki seorang diri. Tapi ayahku juga mengatakan jika api telah menjilati tumitmu kau harus meruntuhkan dinding jika kau ingin meloloskan diri. Kalau terpaksa, pembelaan diri kadang menjadi pilihan terakhir.

Untuk setiap 99 derajat suhu yang meningkat dari api Tuhan di atas sana, ukuran api itu seakan bertambah dua kali lipat. Inilah yang kupikirkan ketika melihat percik-percik api melesat dari cerobong asap tempat pembakaran sampah, memercikkan ribuan bintang baru. Satu-satunya alasan yang tepat bahwa anak yang memaki orang tua akan masuk ke pembakaran sampah Tuhan.

Inilah kesempatan terbesar yang dilakukan orang baru, mengira bahwa melawan api berarti langsung menyiramnya dengan air. Kadang-kadang, hal itu malah membuatnya jadi tambah buruk. Jadi jangan berpikir orang tua yang diam mengisyaratkan kamu menang. Akan ada hari di mana penyesalan menjadi satu-satunya teman.

By : Fitri Yunus 

Kamis, 30 Agustus 2012

Hanya Kata


Pada mulanya adalah jari kaki, lalu perjalanan dari kaos kaki ke sepatu.
Pada mulanya adalah ragu-ragu, lalu perjuangan dari ragu ke imanan cinta.

Hanya kata. Tapi, itulah awal jadi dari segalanya.
Hari kubuka dengan kata, hati sembunyi dalam kata.

Aku ingin bebas dari kata, tapi aku ingin menjadi kata.
Aku ingin bebas dari aku, dibebaskan oleh kata.

~**~ By : Fitri Yunus ~**~

Minggu, 05 Agustus 2012

Selaksa Sukma Untuk Negeriku



Malam adalah waktu yang menjulang melampauimu dalam ketakutan, menakutiku juga – menakuti kita semua. Siapa yang pernah berkenalan dengan malam, akan tahu betul arti keterasingan dalam negeri sendiri. Di sudut rumah itu, ada pohon-pohon raksasa yang ditinggali tikus-tikus dengan tubuh tambun dan lemak bertumpuk.

Kau tahu, tikus-tikus itu menyukai koin-koin kecil di dompetku. Dengan napas mendengus dan suara menguik-nguik, mereka akan menjilati dan menggerogotinya. Tikus memang rakus. Air liur mereka akan menetes-netes, meninggalkan bau bacin yang susah hilang.

Suatu ketika, aku begitu kesal, sampai mengusulkan kepada presiden untuk untuk menukarnya dengan kambing saya. Presiden bilang, mereka tak bisa ditukar. Aku bilang, sayang sekali. Soalnya, kalau bisa, aku ingin menukar presiden. Presidenku terkejut. Dengan siapa, tanyanya marah. Dengan BJ. Habibie, jawabku mantap. (“Sempurna”)

Tikus-tikus itu juga suka membelai kepala anjing negara yang berseragam dan membelikannya berbagai jajanan: permen dan aneka kue yang berwarna-warni. Mendekati pagi, segerombolan anjing berseragam berkelip di timur. Suaranya berdenting dalam hiruk-pikuk orde baru. Anjing negara menjulurkan tangan. Aku sangat senang karena kupikir tikus-tikus itu akan di ajak ngopi di jeruji besi. Nyata, tikus-tikus itu dibawa ke pantai menikmati hidangan babi bakar sambil tertawa terbahak-bahak dengan perut membucit.

Perutnya serupa balon yang kau tiup sepanjang hari dalam kelaparanmu.

By Fitri Yunus

Jumat, 03 Agustus 2012

Sepucuk Surat dari Langit (part 2)



Apa kau masih ingat Kiran? Perempuan yang aku cerita pada posting pertamaku. Perempuan yang memenuhi ruang kanting belakang dengan asap cerutunya. Kali ini Kiran duduk bangku belakang di hari kelulusannya di Fakultas Sastra. Di luar gedung muncul banyak belalang. Mereka datang seperti badai salju, bergelatungan di cabang-cabang pohon dan jatuh bergedebuk di lantai. Ahli-ahli meteorologi bersukacita, berusaha menjelaskan fenomena alam ini. Mereka menyinggung wabah-wabah penyakit yang ada dalam Al-kitab dan El-Nino serta kekeringan yang berkepanjangan. Mereka menyarankan untuk menggunakan payung, topi-topi bercaping bersar, dan tinggal di dalam rumah.

Tapi Kiran malah keluar, lagi-lagi menghisap sebatang demi sebatang rokoknya di bawah halte kampus. Ketika Kiran membuka halaman 213 buku sastra Yunani di tangannya, mahasiswa terbaik berbicara di podium. Kiran baru menyadari jika ia lelaki yang menegurnya di kantin belakang kampus. Kiran bahkan masih ingat betul nasehatnya, "Kata ibuku, rokok menikmati paru-paru seperti ulat menikmati daun."

Pidatonya disela oleh serangga-serangga yang hendak bunuh diri. Belalang berjatuhan dari langit-langit kelas, jatuh ke pangkuan para dosen dan orangtua mahasiswa. Sebenarnya Kiran tidak mau datang, tapi ayahnya memaksa. Ayahnya melihat saat ia memakai toga di penamatan Taman Kanak-Kanak. Dan ayahya ingin mengulangi momen itu.

Saat Kiran hampir menghabiskan rokok ke sepuluhnya, lelaki itu datang di hadapannya seperti hantu berpakaian putih,
"Dan," lelaki itu menyebut namanya dua kali sebagai tanda perkenalan.
Kiran menggeser tubuhnya agar lelaki itu duduk di sampingnya, "Bagaimana rasanya berdiri di atas podium sebagai mahasiswa terbaik?"
Dan tersenyum, memandangi para orangtua yang sedang menikmati berbagai hidangan makanan, "Apa yang dianggap terbaik oleh kampus ini berbeda dengan apa yang dianggap terbaik oleh masing-masing orang. Jika aku bertanya pada ayahmu, ia pasti bilang kau yang terbaik."
Kiran menutup bukunya, dan menawarkan sebatang rokok. Tapi Dan meraih rokok yang sedang dihisap Kiran, lalu menjejalkannya ke tiang halte.

Mereka kemudian berfoto ribuan kali sebelum meninggalkan kampus, Ketika Dan dan Ayah Kiran berhasil meloloskan diri dari gumpalan belalang yang datang seperti angin beliung. Saat ayah Kiran berbalik, Kiran baru menyadari jika ayahnya menangis.
"Hei Kiran," panggilnya, "ayah tidak menyangka bisa melihat ini, ayah sangat bangga bisa punya kenangan ini."

Kiran punya banyak kenangan dengan ayahnya, seperti saat Kiran berusia enam tahun ia punya ide menggali tanah sampai Cina. Apa sih sulitnya, pikirnya menggali terowongan panjang? Ia mengeluarkan sekop dari garasi dan mulai membuat lubang yang besar. Yang Kiran tidak perhitungkan dinding-dinding tinggi yang muncul di sekelilingnya, atau bagian perut bumi. Kiran terus menggali ke bawah dan tersesat. Saat Kiran berteriak ayahnya langsung melolongnya.
"Kau bisa tertimbun di bawah sini," katanya.

Dari sudut itu, Kiran sadar bahwa lubang buatannya tidak terlalu dalam. Nyatanya, ayahnya bisa berdiri di lubang itu dan tinggi lubang itu hanya sampai ke dada Ayahnya.

Mmm, kegelapan ternyata sesuatu yang relaltif.

By Fitri Yunus

Sepucuk Surat dari Langit (part 1)



Ada kalanya ketika jam kerja berakhir, bukannya langsung pulang malah tetap tinggal di kampus menggulung asap rokok ke udara. Tidak seperti meja yang pernah kau jamah di bangku sekolahmu dulu, meja di kantin belakang kampus menghabiskan banyak waktu hingga rayap mampu membangun kerajaan selapis-demi-selapis serat kayu itu.

"Aku sering bertanya-tanya kenapa kau melawan banyak waktu istirahatmu dengan zat kafein," seorang pelayan berbau "tidak mandi seminggu" itu meletakkan dengan kasar seteko kopi.
"Ada banyak alasan yang membuatmu harus bangun dua atau tiga kali pada malam hari," sahut Kiran, lalu memberi tanda agar meninggalkannya sendiri.
Kiran mengambil napas dalam-dalam, "Sampai kapan aku bertahan dengan penyakit ini?"
Tuhan memberinya penyakit secara gamblang, seakan Ia memberi cuaca di bulan Agustus, atau memberi colekan kecil di gunung berapi.

Kiran hampir saja tertidur di meja kantin saat seorang lelaki mencabut puntung rokok di jari jemarinya yang kering mirip sayap burung, "Kata ibuku, rokok menikmati paru-paru seperti ulat menikmati daun."
"Kau perlu belajar sopan-santun pada ibumu, bagaimana cara meminta izin saat mengambil barang milik orang," tukas Kiran.
Lelaki itu melenggang pergi, dan sesaat kemudian hanya langkah kakinya yang terdengar sayup-sayup.

Kau tahu, seorang pemadam kebaran pernah berkata bila api akan padam dengan sendirinya, kecuali kau membuka jendela dan menyiramnya dengan bensin. Kalau dipikir-pikir, kurasa itulah yang sedang kulakukan sekarang, membuka jendela tubuhku, membiarkan asap rokok masuk, atau sama saja membiarkan penyakitku membakar tubuhku habis-habisan. Aku membayangkan malaikat bertangan dingin menemuiku dan ponselnya sedang menyalak saat mendapat pemberitahuan dari Tuhan, namaku berada pada urutan berikutnya.

Entah apa yang akan terjadi besok, kepingan-kepingan teka-teki takdir kadang tersusun rapi, kadang juga membawa kejutan. Yang aku tahu, aku selalu menghabiskan sepanjang hidupku untuk bertahan pada serpihan-serpihan yang tersisa.

By Fitri Yunus