Jumat, 03 Agustus 2012

Sepucuk Surat dari Langit (part 1)



Ada kalanya ketika jam kerja berakhir, bukannya langsung pulang malah tetap tinggal di kampus menggulung asap rokok ke udara. Tidak seperti meja yang pernah kau jamah di bangku sekolahmu dulu, meja di kantin belakang kampus menghabiskan banyak waktu hingga rayap mampu membangun kerajaan selapis-demi-selapis serat kayu itu.

"Aku sering bertanya-tanya kenapa kau melawan banyak waktu istirahatmu dengan zat kafein," seorang pelayan berbau "tidak mandi seminggu" itu meletakkan dengan kasar seteko kopi.
"Ada banyak alasan yang membuatmu harus bangun dua atau tiga kali pada malam hari," sahut Kiran, lalu memberi tanda agar meninggalkannya sendiri.
Kiran mengambil napas dalam-dalam, "Sampai kapan aku bertahan dengan penyakit ini?"
Tuhan memberinya penyakit secara gamblang, seakan Ia memberi cuaca di bulan Agustus, atau memberi colekan kecil di gunung berapi.

Kiran hampir saja tertidur di meja kantin saat seorang lelaki mencabut puntung rokok di jari jemarinya yang kering mirip sayap burung, "Kata ibuku, rokok menikmati paru-paru seperti ulat menikmati daun."
"Kau perlu belajar sopan-santun pada ibumu, bagaimana cara meminta izin saat mengambil barang milik orang," tukas Kiran.
Lelaki itu melenggang pergi, dan sesaat kemudian hanya langkah kakinya yang terdengar sayup-sayup.

Kau tahu, seorang pemadam kebaran pernah berkata bila api akan padam dengan sendirinya, kecuali kau membuka jendela dan menyiramnya dengan bensin. Kalau dipikir-pikir, kurasa itulah yang sedang kulakukan sekarang, membuka jendela tubuhku, membiarkan asap rokok masuk, atau sama saja membiarkan penyakitku membakar tubuhku habis-habisan. Aku membayangkan malaikat bertangan dingin menemuiku dan ponselnya sedang menyalak saat mendapat pemberitahuan dari Tuhan, namaku berada pada urutan berikutnya.

Entah apa yang akan terjadi besok, kepingan-kepingan teka-teki takdir kadang tersusun rapi, kadang juga membawa kejutan. Yang aku tahu, aku selalu menghabiskan sepanjang hidupku untuk bertahan pada serpihan-serpihan yang tersisa.

By Fitri Yunus

Tidak ada komentar:

Posting Komentar