Jumat, 03 Agustus 2012

Sepucuk Surat dari Langit (part 2)



Apa kau masih ingat Kiran? Perempuan yang aku cerita pada posting pertamaku. Perempuan yang memenuhi ruang kanting belakang dengan asap cerutunya. Kali ini Kiran duduk bangku belakang di hari kelulusannya di Fakultas Sastra. Di luar gedung muncul banyak belalang. Mereka datang seperti badai salju, bergelatungan di cabang-cabang pohon dan jatuh bergedebuk di lantai. Ahli-ahli meteorologi bersukacita, berusaha menjelaskan fenomena alam ini. Mereka menyinggung wabah-wabah penyakit yang ada dalam Al-kitab dan El-Nino serta kekeringan yang berkepanjangan. Mereka menyarankan untuk menggunakan payung, topi-topi bercaping bersar, dan tinggal di dalam rumah.

Tapi Kiran malah keluar, lagi-lagi menghisap sebatang demi sebatang rokoknya di bawah halte kampus. Ketika Kiran membuka halaman 213 buku sastra Yunani di tangannya, mahasiswa terbaik berbicara di podium. Kiran baru menyadari jika ia lelaki yang menegurnya di kantin belakang kampus. Kiran bahkan masih ingat betul nasehatnya, "Kata ibuku, rokok menikmati paru-paru seperti ulat menikmati daun."

Pidatonya disela oleh serangga-serangga yang hendak bunuh diri. Belalang berjatuhan dari langit-langit kelas, jatuh ke pangkuan para dosen dan orangtua mahasiswa. Sebenarnya Kiran tidak mau datang, tapi ayahnya memaksa. Ayahnya melihat saat ia memakai toga di penamatan Taman Kanak-Kanak. Dan ayahya ingin mengulangi momen itu.

Saat Kiran hampir menghabiskan rokok ke sepuluhnya, lelaki itu datang di hadapannya seperti hantu berpakaian putih,
"Dan," lelaki itu menyebut namanya dua kali sebagai tanda perkenalan.
Kiran menggeser tubuhnya agar lelaki itu duduk di sampingnya, "Bagaimana rasanya berdiri di atas podium sebagai mahasiswa terbaik?"
Dan tersenyum, memandangi para orangtua yang sedang menikmati berbagai hidangan makanan, "Apa yang dianggap terbaik oleh kampus ini berbeda dengan apa yang dianggap terbaik oleh masing-masing orang. Jika aku bertanya pada ayahmu, ia pasti bilang kau yang terbaik."
Kiran menutup bukunya, dan menawarkan sebatang rokok. Tapi Dan meraih rokok yang sedang dihisap Kiran, lalu menjejalkannya ke tiang halte.

Mereka kemudian berfoto ribuan kali sebelum meninggalkan kampus, Ketika Dan dan Ayah Kiran berhasil meloloskan diri dari gumpalan belalang yang datang seperti angin beliung. Saat ayah Kiran berbalik, Kiran baru menyadari jika ayahnya menangis.
"Hei Kiran," panggilnya, "ayah tidak menyangka bisa melihat ini, ayah sangat bangga bisa punya kenangan ini."

Kiran punya banyak kenangan dengan ayahnya, seperti saat Kiran berusia enam tahun ia punya ide menggali tanah sampai Cina. Apa sih sulitnya, pikirnya menggali terowongan panjang? Ia mengeluarkan sekop dari garasi dan mulai membuat lubang yang besar. Yang Kiran tidak perhitungkan dinding-dinding tinggi yang muncul di sekelilingnya, atau bagian perut bumi. Kiran terus menggali ke bawah dan tersesat. Saat Kiran berteriak ayahnya langsung melolongnya.
"Kau bisa tertimbun di bawah sini," katanya.

Dari sudut itu, Kiran sadar bahwa lubang buatannya tidak terlalu dalam. Nyatanya, ayahnya bisa berdiri di lubang itu dan tinggi lubang itu hanya sampai ke dada Ayahnya.

Mmm, kegelapan ternyata sesuatu yang relaltif.

By Fitri Yunus

Tidak ada komentar:

Posting Komentar